Sabtu, 10 April 2010

Kereta

Jumat, 08 Januari 2010

Perubahan tanpa friksi. Mungkinkah?

Hatiku begitu geram ketika suatu yang nyata-nyata salah dibiarkan berlangsung terus. Sementara hal-hal yang baik tidak kunjung dilakukan, meski kemampuan untuk melakukan hal itu ada. Apakah gerangan yang menyebabkan seseorang seakan tidak ingin melakukan perbaikan, meski disadari itu baik bagi diri dan lingkungannya. Sejauh ini saya mengamati, penyebab yang dominan adalah orang cenderung untuk menghidari masalah dan perselisihan.

Menjaga hubungan baik dan tenggang rasa adalah salah satu ciri khas orang kita. Dalam banyak hal, sifat ini sangat positif. Namun tidak untuk kondisi dimana jelas seseorang melakukan kesalahan, merugikan pihak lain, berbuat kecurangan dan sebagainya. Sikap toleran dan akomodatif untuk hal-hal di atas hanya akan mengakibatkan akumulasi masalah dan cenderung memperparah keadaan.

Bagaimana seseorang tahu kalau yang dilakukan keliru jika tidak seorangpun mengingatkannya. Bagaimana seseorang sadar kalau apa yang dilakukan salah kalau tidak ada yang menegur. Bagaimana juga seseorang menjadi lebih baik kalau tidak ada yang mengkritik dan mengoreksi. Sayangnya tindakan mengingatkan, menegur, mengkritik dang mengkoreksi cenderung mengusik perasaan seseorang. Sehingga cara-cara yang dipilih untuk melakukannya perlu tepat dan bijak.

Ketenangan dan kemapanan memang lebih disukai. Namun kemapanan pada tatanan yang keliru adalah ibarat berada dalam perahu di sungai yang tenang yang mengalir menuju air terjun. Sungguh berakibat buruk pada akhirnya. Sehingga tindakan korektif bukanlah hal yang tabu. Mengubah arah menjadi lebih baik memang membutuhkan energi yang besar dan pertentangan dan gesekan hampir tidak bisa dihindari.

Kritikan akan mengungkap permasalahan yang ada. Sedangkan friksi-friksi yang timbul, bila dikelola dengan baik dapat digunakan untuk mengurai permasalahan yang ada. Dengan kearifan dan kesamaan tujuan, solusi permasalahan dapat dipecahkan bersama. Melelahkan memang, namun itu adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Minggu, 03 Januari 2010

Delapan Jam Bagi PNS

Hari ini mulai berlaku surat edaran yang mengharuskan PNS masuk kerja pukul 7.30 dan istirahat 30 menit mulai pukul 12.00. Bagus.

Mungkin salah satu ketidakadilan terbesar di negeri ini adalah bagaimana PNS begitu dimanjakan dan dibiarkan begitu saja dengan etos kerjanya yang rendah. Jangan terlalu cepat tersinggung. Tidak semua memang. Tapi ketika begitu banyaknya yang memang demikian, maka dengan serta merta orang menghakimi demikian. Bayangkan saja, dengan jam kerja yang sedemikan lentur berhak mendapatkan gaji tetap lebih 2x lipat UMR. Belum lagi ditambah dengan aneka macam tunjangan dan fasilitasnya. Siapa yang tidak akan cemburu dengan keadaan ini?

Apa yang salah di negeri ini? Mengapa pekerja di negeri barat begitu bisa menghargai waktu, nilai kreatifitas dan kinerja? Apakah ini terkait dengan kultur dan budaya masyarakat kita? Masyarakat kita cenderung lebih suka bersantai dan ingin cepat dapat hasilnya. Dan di lingkungan PNS, sikap seperti ini seolah diberikan tempat dan diakomodasi. Menurut saya, ini adalah salah satu akar masalahnya.

Jadi penegakan aturan dan disiplin PNS adalah salah satu solusi yang cukup baik. Karena budaya kerja yang buruk hanya bisa dikikis dengan aturan kerja yang tegas, sehingga iklim kerja yang produktif bisa dibangun dengan efektif. Namun masalah berikutnya adalah bagaimana keinginan ini dapat diimplementasikan di lingkungan PNS yang selama ini sudah sedemikian 'itu'. Tentu keteladanan dan kepemimpinan yang mampu mengawal penegakan aturan dan disiplin dengan konsisten menjadi sangat dibutuhkan.

Kamis, 31 Desember 2009

Waktu Tak Akan Kembali

Sungguh hidup itu sangat singkat! Waktu begitu cepat berlalu. Saat tulisan ini kugoreskan, aku tepat berada di penghujung tahun 2009. 31 Desember 2009. Tepat tengah malam nanti, masuk tahun 2010. Dan hitungan tahun mulai lagi dari awal. Aku tersadar kembali, betapa pentingnya memaknai hidup ini dengan sesuatu yang bermanfaat. Waktu tidak akan berulang dan kita tidak mungkin kembali.

Pergantian Tahun

Banyak ragam cara orang melewati momen dan memberikan makna pergantian tahun. Bagiku, malam tadi tidak terlalu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Di tengah kantukku menjelang tengah malam, sembari berbaring di ruang tengah, terdengar aneka desingan dan dentuman bunyi petasan. Pasti waktu itu langit dipenuhi warna warni kembang api yang menyala silih berganti. Dan pasti, malam itu akan meninggalkan kesan dan kenangan bagi banyak orang yang tengah mengikuti pergerakan waktunya dengan seksama. Tapi sekali lagi, ternyata malam itu biasa saja. Mungkin karena aku sudah pernah melewati malam seperti itu tidak kurang dari 37 kali. Meski tidak semuanya aku benar-benar menyadarinya.

Tertidur dalam pelukan istriku, momen pergantian tahun aku lewati tanpa terasa. Hingga aku terbangun oleh suara adzan shubuh yang terdengar berbeda dari biasanya. Mungkin pak Ngaliman muadzin kami agak terlambat datang waktu itu. Rutinitas harianku pun dimulai kembali.

Pagi ini aku berencana mengajak keluargaku membuat beberapa foto kenangan. Kebetulan seniman Butet membuat festival Binealle yang memungkinkan kami memilih beberapa alternatif latar belakang foto kami agar berbeda dari biasanya. Beberapa patung dan karya seni tersebar di sudut-sudut kota. Aku ingin mengajak keluaga untuk berpose di sana. Apresiasi yang tinggi aku berikan kepada para seniman yang dengan segenap ide dan hati nuraninya mencipta karya-karya yang luar biasa.

Mushola Ulin

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan mushola di pojok belakang rumahku. Disainnya berbentuk gazebo sederhana dengan struktur dari kayu ulin, berlantai kayu nangka setinggi paha orang dewasa. Ada tiga anak tangga yang juga terbuat dari kayu ulin. Atapnya tersusun dari genteng kripik tipis dan pucuknya bulat terbuat dari kuali tanah yang terpasang terbalik. Tapi entah mengapa, mushola itu begitu terasa berarti bagiku.

Hampir seluruh bagian mushola itu aku bentuk dan aku bangun sendiri. Empat pondasi titik sedalam pahaku aku gali dengan segenap tenagaku. Balok-balok ulin seberat tubuhku pun aku bentuk dan aku rangkai sendiri. Aku begitu menikmati dan menghayati seluruh proses pembuatannya. Bahkan bentuk potongan usuk limasnya aku gambar sendiri menggunakan autocad di sela-sela waktu kerjaku. Singkatnya, semua ingin aku buat serapi dan sesempurna mungkin. Seolah aku ingin benar-benar mendirikan sholatku di mushola yang aku dirikan sendiri.

Tapi sebenarnya bukan hanya itu yang membuatku begitu bangga dengan musholaku. Dulunya, mushola itu adalah sebuah gubuk yang tidak lagi terawat di tengah sawah. Gubuk panggung yang dibangun dengan cucuran keringat almarhum bapakku. Gubuk yang berdiri di atas sawah pemberian almarhum embahku. Gubug yang sudah berdiri sejak aku masih di sekolah dasar, ketika beliau semua masih ada. Seakan gubug itu adalah saksi dari semangat embahku mencangkul di sawah. Saksi dari kegigihan bapakku ketika membangunnya sebagai tempat beristirahat melepas lelah. Gubug yang sudah memberikan keteduhan dan semilir rasa nyaman bagi mereka, di bawah terik matahari di tengah sawah.

Sekarang, gubug itu menjelma menjadi mushola yang sejuk di halaman belakang rumahku. Tempat aku dan keluargaku menghadap Tuhan. Tempat kami bercengkrama seusai berjamaah. Tempat yang menghadirkan keakraban dan kedamaian di antara kami. Di hatiku, mushola itu seakan menghadirkan kenangan. Seolah bapakku hadir di tengah kebahagiaan keluarga kami. Semoga Alloh mengampuni segala dosa beliau dan memberikan tempat yang layak di sisiNya. Amin.

Ujung Tahun 2009

Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2009. Tepat tengah malam nanti, akan masuk tahun 2010. Sungguh hidup ini sangat singkat. Waktu terus berputar dan usiaku terus bertambah, nyaris tanpa terasa. Ternyata sekarang usiaku sudah 38 tahun, sebentar lagi saja.

Masih teringat rasanya ketika aku menggenggam koin logam 100 rupiah tebal bergambar rumah minangkabau. Berat rasanya koin itu menempel di telapak tanganku. Saat itu mungkin usiaku sekitar 5 atau 6 tahun. Aku masih punya kembalian, meski perutku sudah kenyang dengan segelas besar es cendol dan jajanan kecil aku sudah tidak ingat lagi apa namanya. Ternyata itu 33 tahun yang lalu. Rasanya belum lama. Itu waktu kecilku di Banjarbaru, sebuah kota kecil di selatan Banjarmasin.

Masih seputar koin, ketika pagi hari dengan embun yang masih tebal menyelimuti halaman pendopo. Berbekal koin kuningan 10 rupiah dan 5 rupiah gambar burung, jongkok di tangga pendopo menanti suara dentingan mangkuk kecil pertanda penjual bubur kacang hijau sudah tiba. Kira-kira waktu itu aku kelas 3 sekolah dasar, libur panjang di desa Kembangan, sebuah desa di Purbalingga Jawa Tengah, tempat tinggal embah kakung. Dan itu ternyata 30 tahun yang lalu.

Juga masih terngiang detak suara jam dinding di rumah eyang Inis, suara musik pembuka Dunia Dalam Berita pukul 21.00 di rumah pakde Kasan, mendengar alunan lagu Jamal Mirdad sembari aku mengutak-atik kotak plastik tempat kumpulan mainanku. Itu juga 30 tahun yang lalu. Tapi sungguh ... suara-suara itu rasanya belum lama.

Kini usiaku menjelang 38 tahun, dengan istri dan 3 anak. Waktu pun masih terus berjalan hingga suatu saat nanti anak-anakku tumbuh besar dan semakin dewasa. Itupun tidak akan lama lagi. Hingga aku akan menyadari, ternyata hidup ini hanya sebentar. Hidup terus berjalan, usia makin bertambah, semakin sabar, semakin bijak. Lebih bisa mengisi dan mewarnai hari-hari dengan sesuatu yang bermanfaat. Bermanfaat bagi keluarga dan juga bagi masyarakat.

Mudah-mudahan aku selalu diberi kesehatan dan kekuatan untuk tetap produktif, diberikan kepekaan mata dan telinga untuk bisa peduli, diberikan kepekaan hati untuk bisa mengasihi dan menyayangi. Dan diberikan umur yang panjang supaya lebih bersyukur dan mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa.