Hatiku begitu geram ketika suatu yang nyata-nyata salah dibiarkan berlangsung terus. Sementara hal-hal yang baik tidak kunjung dilakukan, meski kemampuan untuk melakukan hal itu ada. Apakah gerangan yang menyebabkan seseorang seakan tidak ingin melakukan perbaikan, meski disadari itu baik bagi diri dan lingkungannya. Sejauh ini saya mengamati, penyebab yang dominan adalah orang cenderung untuk menghidari masalah dan perselisihan.
Menjaga hubungan baik dan tenggang rasa adalah salah satu ciri khas orang kita. Dalam banyak hal, sifat ini sangat positif. Namun tidak untuk kondisi dimana jelas seseorang melakukan kesalahan, merugikan pihak lain, berbuat kecurangan dan sebagainya. Sikap toleran dan akomodatif untuk hal-hal di atas hanya akan mengakibatkan akumulasi masalah dan cenderung memperparah keadaan.
Bagaimana seseorang tahu kalau yang dilakukan keliru jika tidak seorangpun mengingatkannya. Bagaimana seseorang sadar kalau apa yang dilakukan salah kalau tidak ada yang menegur. Bagaimana juga seseorang menjadi lebih baik kalau tidak ada yang mengkritik dan mengoreksi. Sayangnya tindakan mengingatkan, menegur, mengkritik dang mengkoreksi cenderung mengusik perasaan seseorang. Sehingga cara-cara yang dipilih untuk melakukannya perlu tepat dan bijak.
Ketenangan dan kemapanan memang lebih disukai. Namun kemapanan pada tatanan yang keliru adalah ibarat berada dalam perahu di sungai yang tenang yang mengalir menuju air terjun. Sungguh berakibat buruk pada akhirnya. Sehingga tindakan korektif bukanlah hal yang tabu. Mengubah arah menjadi lebih baik memang membutuhkan energi yang besar dan pertentangan dan gesekan hampir tidak bisa dihindari.
Kritikan akan mengungkap permasalahan yang ada. Sedangkan friksi-friksi yang timbul, bila dikelola dengan baik dapat digunakan untuk mengurai permasalahan yang ada. Dengan kearifan dan kesamaan tujuan, solusi permasalahan dapat dipecahkan bersama. Melelahkan memang, namun itu adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Jumat, 08 Januari 2010
Minggu, 03 Januari 2010
Delapan Jam Bagi PNS
Hari ini mulai berlaku surat edaran yang mengharuskan PNS masuk kerja pukul 7.30 dan istirahat 30 menit mulai pukul 12.00. Bagus.
Mungkin salah satu ketidakadilan terbesar di negeri ini adalah bagaimana PNS begitu dimanjakan dan dibiarkan begitu saja dengan etos kerjanya yang rendah. Jangan terlalu cepat tersinggung. Tidak semua memang. Tapi ketika begitu banyaknya yang memang demikian, maka dengan serta merta orang menghakimi demikian. Bayangkan saja, dengan jam kerja yang sedemikan lentur berhak mendapatkan gaji tetap lebih 2x lipat UMR. Belum lagi ditambah dengan aneka macam tunjangan dan fasilitasnya. Siapa yang tidak akan cemburu dengan keadaan ini?
Apa yang salah di negeri ini? Mengapa pekerja di negeri barat begitu bisa menghargai waktu, nilai kreatifitas dan kinerja? Apakah ini terkait dengan kultur dan budaya masyarakat kita? Masyarakat kita cenderung lebih suka bersantai dan ingin cepat dapat hasilnya. Dan di lingkungan PNS, sikap seperti ini seolah diberikan tempat dan diakomodasi. Menurut saya, ini adalah salah satu akar masalahnya.
Jadi penegakan aturan dan disiplin PNS adalah salah satu solusi yang cukup baik. Karena budaya kerja yang buruk hanya bisa dikikis dengan aturan kerja yang tegas, sehingga iklim kerja yang produktif bisa dibangun dengan efektif. Namun masalah berikutnya adalah bagaimana keinginan ini dapat diimplementasikan di lingkungan PNS yang selama ini sudah sedemikian 'itu'. Tentu keteladanan dan kepemimpinan yang mampu mengawal penegakan aturan dan disiplin dengan konsisten menjadi sangat dibutuhkan.
Mungkin salah satu ketidakadilan terbesar di negeri ini adalah bagaimana PNS begitu dimanjakan dan dibiarkan begitu saja dengan etos kerjanya yang rendah. Jangan terlalu cepat tersinggung. Tidak semua memang. Tapi ketika begitu banyaknya yang memang demikian, maka dengan serta merta orang menghakimi demikian. Bayangkan saja, dengan jam kerja yang sedemikan lentur berhak mendapatkan gaji tetap lebih 2x lipat UMR. Belum lagi ditambah dengan aneka macam tunjangan dan fasilitasnya. Siapa yang tidak akan cemburu dengan keadaan ini?
Apa yang salah di negeri ini? Mengapa pekerja di negeri barat begitu bisa menghargai waktu, nilai kreatifitas dan kinerja? Apakah ini terkait dengan kultur dan budaya masyarakat kita? Masyarakat kita cenderung lebih suka bersantai dan ingin cepat dapat hasilnya. Dan di lingkungan PNS, sikap seperti ini seolah diberikan tempat dan diakomodasi. Menurut saya, ini adalah salah satu akar masalahnya.
Jadi penegakan aturan dan disiplin PNS adalah salah satu solusi yang cukup baik. Karena budaya kerja yang buruk hanya bisa dikikis dengan aturan kerja yang tegas, sehingga iklim kerja yang produktif bisa dibangun dengan efektif. Namun masalah berikutnya adalah bagaimana keinginan ini dapat diimplementasikan di lingkungan PNS yang selama ini sudah sedemikian 'itu'. Tentu keteladanan dan kepemimpinan yang mampu mengawal penegakan aturan dan disiplin dengan konsisten menjadi sangat dibutuhkan.
Langganan:
Postingan (Atom)